Kelompok Hindu Radikal Menentang Sekolah dan Rumah Sakit Katolik di India Barat Laut | UCANews Indonesia

Renungan Harian Katolik – Pada 14 September 2025, sekitar 15-20 anggota Bajrang Dal, organisasi Hindu radikal, mendatangi pusat Gereja Katolik di desa Jalana, Distrik Dungarpur, Rajasthan. Mereka menuntut penghentian semua kegiatan gereja. Namun, mereka menuduh proyek pembangunan sekolah dan rumah sakit sebagai upaya konversi agama.
Konflik ini menarik perhatian karena menyangkut kebebasan beragama dan hak minoritas Kristen di India Barat Laut. Banyak pihak menilai tindakan Bajrang Dal sebagai tekanan politik terhadap komunitas Kristen lokal.
Selain itu, masyarakat Kristen setempat merasa khawatir atas keselamatan dan hak mereka. Oleh karena itu, pemerintah dan komunitas lokal mulai mengambil langkah untuk memastikan keamanan dan hak minoritas.
Sementara itu, beberapa keluarga mengandalkan layanan sosial yang diberikan gereja untuk pendidikan dan kesehatan anak-anak mereka. Oleh karena itu, penghentian proyek dapat menimbulkan dampak langsung pada kesejahteraan mereka.
Latar Belakang Konflik
Pastor Siby Thomas, imam paroki Jalana, menegaskan bahwa tuduhan konversi agama salah. Pusat ini aktif selama 15 tahun dan rutin menyelenggarakan seminar serta pertemuan komunitas.
Keuskupan Udaipur membeli tanah untuk membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan. Tujuannya membantu masyarakat suku yang kurang terlayani, terutama mereka yang membutuhkan akses pendidikan dan layanan kesehatan dasar.
Banyak keluarga menyambut rencana pembangunan sekolah dan rumah sakit dengan antusias. Namun, beberapa kelompok oposisi menilai proyek ini bertentangan dengan budaya lokal. Oleh karena itu, ketegangan sosial mulai muncul di desa Jalana.
Selain itu, pihak sekolah dan rumah sakit melakukan sosialisasi agar masyarakat memahami tujuan sosial mereka, bukan misi konversi agama.
Reaksi Gereja dan Masyarakat
Pastor Basil Makwana, direktur Pusat Pastoral Keuskupan Udaipur, menilai tindakan Bajrang Dal bermotif politik. Ia menjelaskan bahwa penolakan proyek gereja terkait dengan UU Anti-Konversi yang disahkan pada 9 September 2025. UU ini melarang konversi agama, dengan ancaman hingga 20 tahun penjara dan denda satu juta rupee.
Kelompok hak asasi manusia internasional, seperti Open Doors, menempatkan India di peringkat ke-11 negara dengan penganiayaan terhadap umat Kristen tertinggi, satu tingkat di bawah Afghanistan.
Selain itu, masyarakat Kristen lokal menyatakan kekhawatiran atas keselamatan dan hak mereka. Mereka ingin pemerintah menjamin kebebasan beragama agar kegiatan sosial gereja berjalan lancar tanpa ancaman.
Oleh karena itu, pemerintah distrik mulai memantau situasi dan memastikan keamanan fasilitas sosial gereja.
Dampak Sosial
Penolakan proyek gereja menimbulkan kekhawatiran bagi umat Kristen. Mereka merasa terancam dalam kebebasan beragama dan akses terhadap pendidikan serta layanan kesehatan.
Masyarakat suku yang mayoritas Kristen merasa hak-haknya terpinggirkan. Banyak keluarga yang mengandalkan sekolah dan fasilitas kesehatan gereja khawatir layanan ini akan dihentikan.
Tekanan sosial dari kelompok radikal juga meningkatkan ketegangan antar komunitas. Dengan demikian, jika pemerintah tidak bertindak cepat, konflik ini dapat memicu perselisihan yang lebih luas di tingkat distrik.
Selain itu, ketegangan sosial ini dapat memengaruhi hubungan antaragama di seluruh Rajasthan. Oleh karena itu, dialog dan sosialisasi menjadi sangat penting.
Dampak Politik
Tindakan Bajrang Dal berpotensi memperburuk polarisasi sosial dan politik. Ketegangan antar kelompok agama dan etnis meningkat jika pemerintah tidak mengambil langkah preventif.
Politisi lokal sering menggunakan isu agama untuk meraih dukungan, yang memperumit situasi. Minoritas Kristen berada dalam posisi rentan karena undang-undang Anti-Konversi bisa digunakan untuk menekan kegiatan keagamaan mereka.
Para analis menekankan pentingnya pemerintah memastikan perlindungan terhadap hak minoritas, sementara itu, masyarakat harus tetap tenang dan mengedepankan dialog.
Perspektif Internasional
Organisasi internasional memantau situasi ini. Laporan dari Open Doors dan badan HAM lainnya menunjukkan tren meningkatnya penganiayaan terhadap komunitas Kristen di India.
Media internasional menyoroti tekanan terhadap minoritas sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian, kasus Jalana dianggap sebagai contoh nyata konflik antara kelompok radikal dan minoritas agama.
Tanggapan Keuskupan Udaipur
Keuskupan Udaipur menegaskan mereka menjalankan proyek ini untuk kesejahteraan masyarakat, bukan konversi agama. Pastor Makwana menambahkan, gereja telah memberi layanan sosial kepada ratusan keluarga selama bertahun-tahun.
Keuskupan juga berupaya berdialog dengan masyarakat Hindu setempat untuk mencari solusi damai. Mereka berharap konflik ini dapat diselesaikan melalui diskusi dan kerja sama, bukan tekanan atau intimidasi.
Upaya Penyelesaian
Beberapa langkah yang diambil untuk meredam konflik:
-
Dialog komunitas: Pertemuan rutin antara pemimpin gereja dan tokoh masyarakat Hindu untuk membahas kekhawatiran masing-masing pihak.
-
Mediasi pemerintah: Distrik Dungarpur menugaskan pejabat lokal untuk memantau situasi dan menjamin keamanan fasilitas gereja.
-
Kampanye sosial: Keuskupan menyebarkan informasi tentang tujuan pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat, menekankan pelayanan sosial, bukan konversi.
Selain itu, upaya ini diharapkan menurunkan ketegangan dan memastikan proyek berjalan tanpa gangguan.
Kesimpulan
Konflik di Jalana menyoroti tantangan minoritas agama di India. Umat Kristen menghadapi kesulitan menjalankan kegiatan keagamaan dan sosial karena tekanan kelompok radikal.
Pemerintah dan masyarakat perlu menjamin kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Undang-undang tidak boleh disalahgunakan untuk tujuan politik atau ideologis.
Dialog, mediasi, dan kampanye sosial menjadi kunci menyelesaikan konflik. Oleh karena itu, perlindungan terhadap hak minoritas harus menjadi prioritas agar masyarakat dapat menikmati layanan pendidikan dan kesehatan tanpa ancaman.