
renunganhariankatolik.web. – Kardinal Ignatius Suharyo menilai ketidakadilan sosial tumbuh subur dalam sistem yang membiarkan korupsi berlangsung tanpa kendali. Menurutnya, praktik tersebut memperlebar jurang antara kelompok kaya dan miskin dari waktu ke waktu. Selain itu, ia melihat kelompok rentan semakin sering kehilangan suara dalam proses pengambilan kebijakan publik. Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak untuk mendengar jeritan mereka yang tersingkir dan terpinggirkan.
Pada saat yang sama, Kardinal Suharyo menekankan peran umat beriman dalam membela martabat manusia. Ia mengajak gereja untuk hadir secara nyata di tengah penderitaan masyarakat. Lebih lanjut, ia mendorong aksi solidaritas sebagai wujud iman yang hidup dan bertanggung jawab. Baginya, iman tidak boleh berhenti pada wacana moral, melainkan harus terwujud dalam keberpihakan konkret.
Dalam konteks tersebut, Kardinal Ignatius Suharyo menyampaikan pesan Natal 2025 dengan nada tegas dan reflektif. Ia mengajak umat Katolik dan seluruh masyarakat Indonesia untuk menata ulang arah hidup bersama. Secara khusus, ia menempatkan krisis lingkungan dan korupsi sebagai persoalan moral yang saling berkaitan. Menurutnya, kedua masalah itu lahir dari keserakahan manusia yang kehilangan kepekaan nurani.
Selanjutnya, dalam Misa Pontifikal Natal di Gereja Katedral Jakarta, Kardinal Suharyo mengingatkan bahwa perayaan Natal tidak berhenti pada ritual liturgi semata. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya tindakan nyata dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, ia mengajak umat menjadikan Natal sebagai momentum perubahan sikap dan tanggung jawab bersama di tengah masyarakat.
Kerusakan Lingkungan sebagai Luka Kemanusiaan
Dalam pesannya, Kardinal Suharyo secara khusus menyoroti kerusakan lingkungan yang terus meluas di berbagai wilayah Indonesia. Ia menyebut banjir, longsor, dan krisis iklim sebagai buah langsung dari ulah manusia. Lebih jauh, ia menilai manusia kerap mengeksploitasi alam tanpa kendali demi keuntungan jangka pendek. Oleh sebab itu, ia menyebut perilaku tersebut sebagai pengkhianatan terhadap tanggung jawab moral sebagai penjaga ciptaan.
Selain itu, Kardinal Suharyo menegaskan bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar persoalan teknis. Menurutnya, persoalan ini menyentuh dimensi kemanusiaan yang paling mendasar. Ketika alam rusak, kelompok miskin dan rentan menjadi pihak pertama yang menanggung dampaknya. Dengan demikian, krisis ekologis juga mencerminkan krisis keadilan sosial.
Sebagai respons, ia mendorong gerakan pertobatan ekologis sebagai jalan keluar. Ia mengajak umat untuk mengubah pola hidup sehari-hari secara sadar dan bertanggung jawab. Secara konkret, ia menekankan kesadaran dalam konsumsi energi, pengelolaan sampah, serta perlindungan alam. Ia meyakini perubahan kecil dapat membawa dampak besar jika dilakukan secara kolektif dan konsisten.
Korupsi Menghancurkan Harapan dan Masa Depan
Selain krisis lingkungan, Kardinal Suharyo juga mengangkat persoalan korupsi dengan bahasa yang lugas dan tegas. Ia menilai korupsi merusak sendi kehidupan sosial secara sistematis. Lebih dari itu, ia melihat korupsi melukai kaum miskin dan menutup harapan masa depan generasi muda. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa keserakahan tidak pernah membawa kebahagiaan sejati bagi siapa pun.
Dalam konteks ini, Kardinal Suharyo mengutip pesan Paus Fransiskus tentang bahaya uang dan kekuasaan. Ia mengingatkan umat agar tidak menjadikan materi sebagai ukuran utama nilai hidup. Selanjutnya, ia menekankan bahwa korupsi menciptakan ketidakadilan struktural yang berlangsung lama dan sulit dipulihkan. Ia menyebut korupsi sebagai skandal publik yang merusak martabat manusia secara kolektif.
Lebih jauh lagi, ia menegaskan bahwa iman tidak boleh berhenti pada simbol, seremoni, dan perayaan. Sebaliknya, ia mendorong solidaritas sebagai wujud iman yang hidup. Ia menilai kasih harus tampil dalam tindakan nyata yang membela kejujuran, keadilan sosial, dan keberpihakan kepada yang lemah.
Natal sebagai Ajakan Bertobat dan Berubah
Berangkat dari berbagai keprihatinan tersebut, Kardinal Suharyo menempatkan Natal sebagai panggilan pertobatan yang mendalam. Ia mengajak umat untuk meninggalkan sikap egois dan kepentingan sempit. Pada saat yang sama, ia mendorong perubahan cara pandang terhadap alam, sesama, dan kehidupan bersama.
Menurutnya, pertobatan tidak cukup berhenti pada kata-kata atau wacana moral. Sebaliknya, pertobatan menuntut keberanian untuk bertindak secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, ia mengajak umat menjadikan nilai Natal sebagai pedoman konkret dalam mengambil keputusan sosial, ekonomi, dan politik.
Selanjutnya, ia mengajak umat menjadikan tahun-tahun mendatang sebagai masa pemulihan bersama. Ia mendorong gereja untuk terus menyuarakan keadilan tanpa rasa takut. Selain itu, ia mengajak negara dan masyarakat sipil untuk berjalan bersama dalam semangat kolaborasi. Ia percaya perubahan selalu mungkin terjadi jika manusia mau mendengar suara hati dan bertindak dengan tanggung jawab.
Harapan Natal untuk Indonesia yang Lebih Bermartabat
Pesan Natal Kardinal Suharyo menghadirkan harapan sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia. Ia tidak hanya menyampaikan kritik, tetapi juga menawarkan arah yang jelas. Ia mengajak semua elemen bangsa untuk membangun Indonesia yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Dalam pandangannya, iman harus menjadi sumber keberanian moral di tengah krisis.
Pada akhirnya, melalui pesan ini, Natal tampil sebagai momen refleksi nasional. Kardinal Suharyo mengajak masyarakat Indonesia untuk menjaga bumi, melawan korupsi, dan memulihkan kemanusiaan. Pesan tersebut menegaskan bahwa masa depan bangsa sangat bergantung pada pilihan dan tindakan yang diambil hari ini.




