Romo Mudji Sutrisno Tutup Usia, Gereja Kehilangan Suara Kritis dan Humanis

renunganhariankatolik.web.id – Gereja Katolik Indonesia menyampaikan duka mendalam atas wafatnya Romo Mudji Sutrisno. Kepergian imam dan intelektual ini meninggalkan jejak kuat dalam dunia pemikiran, pendidikan, dan dialog budaya. Selama hidupnya, Romo Mudji Sutrisno konsisten menghadirkan suara kritis yang berpihak pada nilai kemanusiaan.
Kabar wafatnya Romo Mudji Sutrisno menyentuh banyak kalangan. Umat, akademisi, dan pegiat budaya mengenang sosok imam yang berani berpikir jernih dan berbicara jujur. Ia memadukan iman dengan refleksi filosofis secara mendalam dan relevan.
Imam yang Menghidupi Iman Lewat Pikiran
Romo Mudji Sutrisno menjalani panggilan imamat dengan pendekatan intelektual yang kuat. Ia menempatkan iman sebagai dasar refleksi kritis terhadap realitas sosial. Melalui tulisan dan pengajarannya, ia mengajak umat berpikir terbuka tanpa kehilangan akar spiritual.
Ia aktif mendorong Gereja agar hadir secara kontekstual. Ia melihat iman tidak berhenti pada ritual, tetapi terus bergerak dalam dialog dengan budaya, ilmu pengetahuan, dan persoalan kemanusiaan. Sikap ini menjadikan Romo Mudji Sutrisno sebagai figur yang disegani di lingkungan Gereja maupun akademik.
Jembatan antara Iman dan Budaya
Dalam berbagai kesempatan, Romo Mudji Sutrisno menegaskan pentingnya dialog antara iman dan budaya. Ia memandang kebudayaan sebagai ruang perjumpaan manusia dengan nilai luhur. Ia mendorong Gereja membaca tanda zaman secara cermat dan berani berdialog dengan perbedaan.
Pendekatan tersebut membuat pemikirannya relevan lintas generasi. Ia berbicara tentang kemanusiaan, keadilan, dan martabat manusia dengan bahasa yang membumi. Melalui refleksi itu, ia mengajak umat membangun iman yang matang dan bertanggung jawab.
Peran Besar dalam Dunia Pendidikan
Pastor Mudji Sutrisno mengabdikan banyak energi dalam dunia pendidikan. Ia membimbing mahasiswa dan kaum muda untuk berpikir kritis, etis, dan reflektif. Ia menanamkan keberanian intelektual tanpa mengorbankan kepekaan nurani.
Dalam ruang kelas dan forum diskusi, ia memicu dialog yang hidup. Ia menantang generasi muda agar tidak menerima realitas secara mentah. Sikap ini melahirkan banyak murid yang berani berpikir mandiri dan berkomitmen pada nilai kemanusiaan.
Warisan Pemikiran yang Terus Hidup
Kepergian Pastor Mudji Sutrisno memang meninggalkan duka mendalam. Namun demikian, wafatnya tidak menghentikan pengaruh pemikirannya. Tulisan, gagasan, dan semangat dialog yang ia tanamkan terus hidup dalam Gereja dan masyarakat. Karena itulah, banyak orang masih mengenang ketajaman analisanya serta kejernihan sikapnya dalam membaca persoalan bangsa.
Lebih dari sekadar pemikir, ia juga menghadirkan teladan nyata tentang bagaimana iman dan akal berjalan seiring. Ia menunjukkan bahwa Gereja dapat bersuara kritis tanpa kehilangan kasih. Dengan landasan tersebut, warisan pemikirannya menjadi bekal penting bagi Gereja dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Duka yang Menguatkan Komitmen
Wafatnya Pastor Mudji Sutrisno menjadi momen refleksi bagi banyak pihak. Gereja dan masyarakat kembali mengingat pentingnya kehadiran intelektual yang jujur dan berani. Sosoknya menginspirasi komitmen untuk terus memperjuangkan kemanusiaan, dialog, dan kebenaran.
Dalam duka, Gereja tetap melanjutkan semangat yang ia tinggalkan. Pemikiran Romo Mudji Sutrisno akan terus mengalir melalui generasi yang ia sentuh. Ia telah menyelesaikan peziarahan hidupnya, namun gagasannya terus menyalakan harapan.



