Allah Sang Kasih yang Tetap Mengasihi di Tengah Penolakan Manusia

renunganhariankatolik.web.id – Kasih selalu menjadi inti relasi antara Allah dan manusia. Sejak awal penciptaan, Allah menyatakan cinta-Nya melalui kehidupan, pemeliharaan, dan pengharapan. Namun, dalam realitas hidup sehari-hari, manusia sering gagal membalas kasih tersebut dengan kesetiaan.
Di tengah kemajuan zaman, manusia semakin sibuk mengejar kepentingan pribadi. Akibatnya, relasi dengan Allah sering tersisih. Padahal, Allah terus mengasihi tanpa syarat dan tanpa jeda. Dari titik inilah refleksi tentang Allah Sang Kasih yang tidak dikasihi memperoleh makna mendalam.
Allah Mengasihi Tanpa Syarat dan Tanpa Lelah
Allah tidak menunggu manusia menjadi sempurna untuk mencintai. Ia lebih dulu mengulurkan kasih bahkan saat manusia jatuh dalam dosa. Setiap tindakan kasih Tuhan lahir dari kehendak bebas-Nya, bukan dari tuntutan atau kewajiban.
Selain itu, Allah terus menawarkan pengampunan dan pemulihan. Ia memanggil manusia untuk kembali setiap kali manusia menjauh. Melalui sabda-Nya, Allah mengingatkan bahwa kasih-Nya melampaui batas kesalahan manusia.
Lebih jauh lagi, kasih Allah tidak bergantung pada respons manusia. Ketika manusia menolak, Allah tetap setia. Ketika manusia lupa, Allah tetap hadir. Inilah kasih yang melampaui logika manusia.
Manusia Sering Membalas Kasih dengan Ketidakpedulian
Meski Tuhan terus mengasihi, manusia sering menunjukkan sikap sebaliknya. Banyak orang mengaku beriman, namun hidup tanpa menghayati nilai kasih. Ego, keserakahan, dan ambisi pribadi sering menguasai keputusan hidup.
Dalam kehidupan sosial, ketidakadilan dan kekerasan terus muncul. Dalam relasi pribadi, pengampunan terasa sulit diberikan. Semua ini menunjukkan bahwa manusia kerap menjauh dari sumber kasih sejati.
Lebih ironis lagi, manusia sering mencari makna hidup di luar Allah. Mereka mengandalkan kekuatan diri sendiri dan melupakan peran Tuhan dalam setiap langkah. Sikap ini secara perlahan mengikis kepekaan rohani.
Kasih Allah Hadir di Tengah Luka Dunia
Di tengah penderitaan, Tuhan tetap bekerja melalui kasih. Ia hadir melalui solidaritas, kepedulian, dan pengorbanan sesama. Setiap tindakan kasih yang tulus mencerminkan kehadiran Allah di dunia.
Bencana, konflik, dan ketidakpastian hidup sering mengguncang iman. Namun, Allah tidak pernah meninggalkan manusia. Ia justru mengajak manusia menjadi saluran kasih bagi sesama yang terluka.
Dengan cara ini, Allah mengundang manusia untuk terlibat aktif dalam karya kasih. Ia tidak hanya meminta iman dalam kata-kata, tetapi juga iman yang hidup dalam tindakan nyata.
Yesus Menjadi Wajah Kasih Allah yang Nyata
Dalam iman Kristiani, Yesus menghadirkan kasih Tuhan secara konkret. Ia menyembuhkan yang sakit, merangkul yang tersingkir, dan mengampuni yang berdosa. Melalui hidup-Nya, Yesus menunjukkan bahwa kasih sejati menuntut pengorbanan.
Yesus tidak hanya mengajarkan kasih, tetapi juga menjalankannya hingga akhir. Ia tetap mengasihi bahkan ketika penolakan dan penderitaan menghampiri. Dari salib, kasih Allah mencapai puncaknya.
Teladan ini mengajak umat untuk meneladani kasih yang aktif. Kasih tidak berhenti pada perasaan, tetapi bergerak dalam keberanian untuk melayani dan mengampuni.
Panggilan untuk Kembali Mengasihi Allah
Refleksi tentang Tuhan Sang Kasih yang tidak dikasihi mengajak manusia untuk bercermin. Setiap orang perlu bertanya tentang kualitas relasi dengan Tuhan. Apakah hidup sungguh mencerminkan kasih Allah atau justru menjauh darinya?
Pertobatan menjadi langkah awal untuk memperbaiki relasi tersebut. Dengan membuka hati, manusia dapat kembali merasakan kehadiran Allah yang penuh kasih. Doa, keheningan, dan pelayanan membantu menumbuhkan relasi yang lebih mendalam.
Selain itu, mengasihi Tuhan selalu terwujud dalam kasih kepada sesama. Setiap tindakan kebaikan menjadi bentuk nyata balasan kasih kepada Tuhan.
Kasih yang Menuntut Tanggapan Nyata
Kasih Tuhan tidak pernah memaksa, tetapi selalu mengundang. Ia menunggu jawaban manusia dengan kesabaran. Dalam kebebasan, manusia menentukan sikap: menerima atau mengabaikan kasih tersebut.
Pada akhirnya, Tuhan tetap setia mengasihi. Namun, manusia perlu merespons agar relasi itu hidup dan bermakna. Dengan menerima dan membagikan kasih Tuhan, manusia menemukan makna sejati kehidupan.
Kasih yang diterima dengan tulus akan mengubah hati. Dari sanalah lahir dunia yang lebih adil, damai, dan penuh harapan.




